Sejarah Garis Weber

Meskipun luas total daratan Indonesia hanya 1,3% dari seluruh permukaan Bumi, Indonesia mempunyai 10% tumbuhan berbunga (27.000 jenis), 12% mamalia (515 jenis), 16% amfibi (270 jenis), dan 17% aves (1.539 jenis) (KLH Koplalindo, 1994). Tidak hanya itu, banyaknya pulau-pulau yang terisolasi membuat Indonesia kaya jenis flora dan fauna endemik. Kenyataan ini membuat beberapa peneliti membagi kawasan biogeografi flora dan fauna di Indonesia.

Salah satunya adalah Alfred Russel Wallace. Dalam penjelajahannya di Nusantara antara 1854-1862, Wallace telah berhasil mengumpulkan 125.000 spesies mamalia, reptil, burung, kupu-kupu, dan berbagai jenis serangga. Di tahun 1856 dalam sebuah suratnya, ia menyatakan bahwa di Kepulauan Indonesia dihuni dua fauna yang berbeda, yaitu kawasan barat dan kawasan timur. Namun, batas kedua kawasan tersebut masih kabur. Selang beberapa waktu kemudian, di tahun 1859, berdasarkan pada penyebaran jenis burung, Wallace menetapkan Selat Lombok (laut sempit antara Lombok dan Bali) dan Selat Makassar (laut semput antara Sulawesi dan Kalimantan) ditetapkan sebagai pembatasnya. Baru di tahun 1863, Wallace secara tegas menuliskan batas biogeografi yang bertipe Asia mulai dari Selat Lombok berlanjut ke Selat Makassar, kemudian berbelok ke arah timur di selatan Filipina. Inilah yang kemudian terkenal dengan sebutan garis Wallace.

Setelah menetapkan garis biogeografi ini bermunculan reaksi yang melengkapi dan mengoreksi gagasan Wallace. Salah satunya Huxley di tahun 1869. Ia mengusulkan agar garis batas penyebaran hewan bertipe Asia itu lurus ke atas, tidak berbelok di selatan Filipina dan mengeluarkan Filipina dari kawasan yang bercorak Asia. Namun, garis awalnya sama dengan garis Wallace.

Di tahun 1904, Weber mengusulkan agar garis Wallace bergeser lebih ke timur. Garis ini diajukan untuk mengoreksi batas timur penyebaran hewan bercorak Asia daripada usulan Wallace. Weber kemudian menggeser batas penyebarannya hingga ke arah timur, menurutnya di sanalah batas paling seimbang, karena jumlah hewan bercorak Asia dan Australia berjumlah sama. Namun di tahun 1910, Wallace menentukan keunggulan hewan bercorak Asia di Sulawesi harus dicerminkan menggeser garis batas awal ke sebelah timur Sulawesi. Akan tetapi, Wallace juga menegaskan bahwa sesungguhnya garis Weber tidak tunggal, akan bisa berbeda-beda untuk setiap jenis hewan. Jadi sebenarnya garis Weber bersifat koreksi atas garis Wallace bukan sebagai pembatas bagian barat dari penyebaran hewan bercorak Australia. Lalu di mana batas paling barat dari penyebaran hewan yang bercorak Australia ?

Di tahun 1928 baru ditentukan garis batas paling barat dari penyebaran hewan yang bercorak Australia. Garis ini mengikuti batas kedalaman laut di Paparan Sahul. Inilah yang disebut garis Lydekker. Nah, dari penjelasan mengenai batas wilayah persebaran fauna di atas, pasti kamu bisa membayangkan bagaimana persebaran flora dan fauna di Indonesia.

Ternyata, garis-garis yang telah ditentukan tersebut terbukti nyata apabila kita lihat persebaran jenis faunanya. Wilayah di sebelah barat garis Wallace mempunyai kekhasan, yaitu mempunyai ciri hampir sama dengan fauna yang terdapat di kawasan Benua Asia. Hal ini karena pada zaman es, Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, serta pulau-pulau kecil yang ada disekitarnya merupakan bagian dari Asia atau menyatu dengan Benua Asia. Begitu pula dengan perairan laut dangkal yang mengelilingi pulau-pulau tersebut juga merupakan daratan yang menyatu dengan Benua Asia. Pada akhir zaman es, es mulai mencair dan disertai dengan adanya gempa, mengakibatkan wilayah daratan Benua Asia terpecah dan tersebar seperti sekarang ini. Bersamaan dengan kejadian tersebut terjadi pula persebaran flora dan fauna. Oleh karena itu, flora dan fauna di wilayah A atau wilayah Indonesia Barat mempunyai kesamaan dengan flora dan fauna di Benua Asia secara umum.

Kawasan antara garis Wallace dan Lydekker dinamakan kawasan Wallacea atau peralihan. Kawasan ini terdiri atas ribuan pulau yang terletak di kawasan oriental dan Australia. Pulau-pulau ini dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu :

  1. Sulawesi dan pulau-pulau disekitarnya, termasuk Kepulauan Banggai dan Sula.
  2. Kepulauan Maluku.
  3. Kepulauan Nusa Tenggara.

Di kawasan Wallacea inilah terdapat fauna yang khas, tidak mirip Asia maupun Australia. Semua itu karena sejarah geologis yang rumit sehingga terjadi pencampuran fauna Asia dan Australia, serta evolusi berbagai jenis fauna endemik. Sejarah Pulau Sulawesi sebagai pulau terbesar di kawasan tersebut dapat menjelaskan persebaran faunanya. Sejarah tersebut dimulai kira-kira 200 juta tahun yang lalu ketika Gondwana Land mulai terpecah-pecah. Pecahan besar terombang-ambing oleh lempeng tektonik hingga terjadi pertemuan sementara antara Asia dan Australia. Pertemuan ini memungkinkan berpindahnya flora dan fauna. Jadi, Sulawesi yang sekarang dahulu menyatu dengan bagian Asia.

Berangkat dari sejarah alam yang kompleks ini, terbentuk keanekaragaman jenis fauna endemik yang sangat tinggi. Endemisitas yang tinggi antara lain terdapat pada kelompok ikan air tawar dengan 52 jenis endemik (77%) dan kelompok mamalia sebanyak 53 jenis dari 114 jenis. Terdapat juga 23 jenis ular endemik dari 64 jenis alam. Hewan lain yang khas yaitu babi rusa. Saat ini populasi babi rusa semakin berkurang dan menjadi hewan paling terancan di Sulawesi. Perkembangbiakan yang lambat, perburuan yang tidak terkendali, dan perusakan habitat mendorong kepunahan babi rusa. Selain babi rusa, masih ada hewan lain yang menjadi ciri khas di Sulawesi, seperti anoa, musang Sulawesi, kuskus, beruang, dan tangkasi.

Wilayah di bagian timur dari garis Lydekker adalah kawasan yang persebaran flora dan faunanya mempunyai kemiripan dengan yang ada di Australia. Ciri yang paling khas dari fauna di kawasan ini adalah mamalia yang berkantong. Di antaranya telah punah, yaitu beberapa jenis walabi dan bandikut. Fauna lain seperti kaskus, cenderawasih, kasuari, nokdiak, nata fem (Landak Papua).

Walaupun tiap wilayah mempunyai corak fauna sendiri-sendiri, tetapi tidak menutup kemungkinan terdapat fauna corak lain di wilayah yang tidak memiliki corak fauna tersebut. Contohnya, di kebun binatang pasti ada berbagai corak fauna Indonesia. Persebaran seperti ini merupakan hasil campur tangan manusia.

Leave a comment